macam-macam model bia PO.Haryanto
Kisah Haryanto merintis perusahaan angkutan PO Haryanto
Merantau ke Jakarta tanpa uang dan pendidikan, Haryanto akhirnya melamar sebagai anggota TNI. Setelah 20 tahun mengabdi di kesatuannya dengan pangkat terakhir kopral, ia justru sukses berbisnis angkutan umum. Kini penghasilannya tak kalah dengan para jenderal.
Gelutilah bisnis yang Anda kenal. Haryanto agaknya betul-betul menjalankan nasihat ini dengan disiplin tinggi. Berkat ketekunan, keuletan, dan tentu saja garis keberuntungan yang tergores di tangannya, Haryanto akhirnya memetik buah usahanya.
Bagi pria kelahiran Kudus 46 tahun yang lalu ini disiplin memang bukan hal aneh. Maklum, ia adalah mantan anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI). Jangan pandang sebelah mata. Kariernya di TNI memang berakhir saat ia berpangkat kopral. Tapi, Haryanto benar-benar sukses mengelola bisnis. Saat ini ia memiliki 26 bus eksekutif yang melayani jalur Jakarta-Kudus PP, Jakarta-Pati PP dan Jakarta-Jepara PP. Selain itu, ia juga memiliki 150 unit angkutan kota (angkot) yang merajai seluruh trayek di Tangerang serta memiliki show room mobil.
Haryanto sendiri sebenarnya tak pernah menyangka ia akan menjadi pengusaha. Pasalnya, ia terlahir sebagai anak desa di Kudus, Jawa Tengah. Orang tuanya hanyalah buruh tani yang punya kerja sambilan sebagai tukang memisahkan tulang dan daging ikan di pasar. Adapun Haryanto, sejak kecil dididik untuk bekerja keras, mulai dari menggembala sapi milik tetangga, berjualan es atau sebagai tukang ngarit demi menambah penghasilan bagi kelangsungan hidup keluarganya. Maklum, keluarganya adalah keluarga besar. Haryanto adalah anak keenam dari sebelas bersaudara.
Meski ulet, ternyata Haryanto cukup bandel. Buktinya, ia tidak menyelesaikan sekolahnya di bangku Sekolah Teknik Menengah (STM) lantaran merasa tidak cocok. Ia lalu kabur dari rumah dan hijrah ke Tangerang. "Saya akan mengubah nasib," begitu tekadnya waktu itu.
Berbekal tekad dan semangat yang kuat, di Tangerang Haryanto lalu mendaftar sebagai anggota TNI. Sejak kecil Haryanto memang bercita-cita bisa berseragam loreng sambil memanggul senjata. Cita-citanya itu akhirnya kesampaian juga. Tahun 1979 ia mulai bekerja di kesatuan angkatan udara Kostrad di Tangerang. "Saya dididik jadi pengemudi, tugas saya mengangkut alat-alat berat, meriam, beras untuk konsumsi dan perminyakan," kenang Haryanto. Penghasilan yang ia kantongi waktu itu sekitar Rp 18.000 per bulan.
Bekerja sambilan jadi sopir angkot
Karena sudah bekerja dan mengantongi gaji, pada 1982 Haryanto memberanikan diri untuk menikah. Tapi, gaji belasan ribu yang diterimanya tiap bulan itu ternyata tak cukup untuk menambal semua kebutuhan hidupnya. Bahkan, rumah sewa berukuran 3 x 4 meter yang ia huni bersama dengan istrinya tak mampu ia bayar. "Untuk membayar sewa rumah saja saya utang," kenangnya. Kepepet dengan kondisi keuangan yang minim inilah yang justru mempertebal semangat Haryanto untuk mulai mencari usaha sampingan. Pada 1984, dengan modal uang tabungan kurang dari Rp 1 juta, Haryanto nekat membeli satu unit mobil angkutan kota (angkot) buatan Daihatsu.
Ia pun lalu menjadi sopir bagi kendaraan pribadinya yang berpelat kuning. Waktu itu rute yang ia tempuh Pasar Anyar-Serpong. "Dulu masih kebun karet, jalannya juga enggak sebagus sekarang," paparnya. Di sela-sela waktu bekerja sebagai sopir kendaraan militer di kesatuannya, Haryanto pun meluangkan waktunya untuk menyopiri angkotnya. Saban hari ia menyopir angkotnya pada pukul 15.00-16.00, kemudian bekerja di Kostrad hingga pukul 19.00. Selepas pukul 22.00, ia mulai mengemudikan angkotnya lagi hingga dini hari. Suka tidak suka, Haryanto harus mengurangi waktu tidurnya demi menafkahi istri dan ketiga anaknya.
Berkat rajin menyopiri angkotnya, tahun-tahun berikutnya Haryanto terus membeli angkot dari uang yang ia sisihkan. Modal untuk membeli angkot juga didapatnya dari hasil kerja sambilannya yang lain, sebagai perwakilan bus PO Sumber Urip yang ia tekuni sejak 1990-2000. Angkotnya terus beranak-pinak hingga puluhan dan terus bertambah menembus angka 100 unit. "Insya Allah sekarang saya telah memiliki jalur angkot hampir seluruh Tangerang," ungkapnya penuh syukur. Saat ini sekitar 150 angkot ada dalam daftar asetnya. Dari usaha angkotnya saja, jutaan rupiah berhasil ia kantongi setiap hari.
Tapi, Haryanto bukan orang yang gampang berpuas diri. Tahun 1990 ia membuka satu gerai showroom mobil di Tangerang yang khusus menjual angkot dari beragam karoseri. Gerai ini tak membutuhkan modal yang banyak, Haryanto hanya menyiapkan lahan bagi mereka yang ingin menjual angkotnya. "Modalnya hanya kepercayaan," tukas Haryanto. Showroom ini pun cukup laris, setiap bulan sekitar 20-30 unit mobil berhasil ia jual.
Pensiun dari kopral, gajinya jenderal
Karena putaran roda bisnisnya semakin kencang, Haryanto pun akhirnya memutuskan untuk keluar dari kesatuannya di militer. Kendati usianya baru 43 tahun, tahun 2002 lalu, ia melayangkan surat pengunduran diri. "Saya enggak dapat pesangon, tapi dapat pensiun Rp 800.000 per bulan," ujarnya.
Sejak pensiun itulah Haryanto justru sibuk dengan mainan barunya, yaitu PO Haryanto yang dirintisnya pada tahun yang sama. Waktu itu Haryanto mendapat kucuran kredit dari Bank BRI sekitar Rp 3 miliar. Uang itu ia gunakan untuk membeli enam unit bus senilai masing-masing Rp 800 juta. "Pinjaman itu saya pakai untuk uang muka beli bus," katanya.
Semula Haryanto mengoperasikan busnya untuk rute Cikarang-Cimone kelas non-AC alias ekonomi. Sayangnya, bus jurusan ini sepi penumpang. Maka, ia mengalihkan ke bus eksekutif yang ber-AC dan membuat rute baru yang tujuannya tak jauh dari kampung halamannya, yaitu Jakarta-Kudus, Jakarta-Jepara, dan Jakarta-Pati. Demi menjaga kualitas, Haryanto mendidik sopir-sopirnya agar tidak ugal-ugalan dan diprotes penumpang. Walau sudah menjadi juragan, Haryanto pun tak segan-segan setiap hari nongkrong di terminal, memeriksa sendiri kondisi bus-busnya sambil mendengarkan keluhan penumpang.
Di garasinya kini sekitar 20 unit bus berjajar rapi. Adapun enam bus kelas ekonomi yang pertama ia beli dulu, dikandangkan terpisah dan tidak lagi ia lajukan di jalan raya. "Bus ekonomi nanti akan saya lepas Rp 200 juta per unitnya," kata Haryanto. Salah satu kunci suksesnya sebagai pemain baru di bisnis bus antarkota antarprovinsi ini adalah karena ia berani mematok tarif 20% lebih murah ketimbang perusahaan otobus lain.
Tak heran, banyak penumpang yang kini melirik armada angkutannya sehingga pundi-pundi uang Haryanto lancar terisi. Dari putaran roda bisnis di bisnis beragam angkutan penumpang ini, Haryanto kini menangguk pendapatan yang lumayan. Karyawannya pun kini telah mencapai 500 orang. "Saya enggak nyangka sekarang bisa menjadi pengusaha," ungkap Haryanto. Sebagai pengusaha, tentu saja penghasilan pensiunan kopral itu tak kalah dengan para jenderal.
Mengongkosi Sopir ke Tanah Suci
Pergi ke tanah suci adalah impian Haryanto, pemilik PO Haryanto. Itu sebabnya, ia selalu menyisihkan sedikit demi sedikit penghasilannya. Berkat uang hasil tabungannya itulah, pada 1997, akhirnya ia bisa berangkat ke tanah suci bersama orang tua dan istrinya. Sejak kakinya menginjakkan tanah suci itulah ia berjanji pada dirinya untuk menjalankan bisnis ini dengan sungguh-sungguh. "Alhamdulillah saya bisa ke Mekkah juga dari hasil usaha angkot," ujarnya kalem.
Haryanto agaknya sadar betul bahwa usahanya tak akan berhasil tanpa campur tangan Yang di Atas. Itu sebabnya, ia berikrar akan memberangkatkan sopir-sopirnya ke Tanah Suci. Maka dari itu, setiba dari Mekkah, kendati harga dolar sedang mahal-mahalnya, Haryanto memenuhi janjinya pada diri sendiri untuk memberangkatkan karyawannya naik haji. Kesempatan pertama itu ia hadiahkan pada satu orang sopir yang telah setia bekerja padanya. "Dia sopir pertama yang saya berangkatkan ke tanah suci," ujarnya.
Tradisi memberangkatkan karyawannya itu terus ia pelihara hingga sekarang. Bagi karyawan yang taat dan tekun beribadah, Haryanto tak segan-segan membagi tiket untuk beribadah ke Mekkah. Kini setiap tahun sekitar lima karyawan berangkat naik haji atas biaya Haryanto
Merantau ke Jakarta tanpa uang dan pendidikan, Haryanto akhirnya melamar sebagai anggota TNI. Setelah 20 tahun mengabdi di kesatuannya dengan pangkat terakhir kopral, ia justru sukses berbisnis angkutan umum. Kini penghasilannya tak kalah dengan para jenderal.
Gelutilah bisnis yang Anda kenal. Haryanto agaknya betul-betul menjalankan nasihat ini dengan disiplin tinggi. Berkat ketekunan, keuletan, dan tentu saja garis keberuntungan yang tergores di tangannya, Haryanto akhirnya memetik buah usahanya.
Bagi pria kelahiran Kudus 46 tahun yang lalu ini disiplin memang bukan hal aneh. Maklum, ia adalah mantan anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI). Jangan pandang sebelah mata. Kariernya di TNI memang berakhir saat ia berpangkat kopral. Tapi, Haryanto benar-benar sukses mengelola bisnis. Saat ini ia memiliki 26 bus eksekutif yang melayani jalur Jakarta-Kudus PP, Jakarta-Pati PP dan Jakarta-Jepara PP. Selain itu, ia juga memiliki 150 unit angkutan kota (angkot) yang merajai seluruh trayek di Tangerang serta memiliki show room mobil.
Haryanto sendiri sebenarnya tak pernah menyangka ia akan menjadi pengusaha. Pasalnya, ia terlahir sebagai anak desa di Kudus, Jawa Tengah. Orang tuanya hanyalah buruh tani yang punya kerja sambilan sebagai tukang memisahkan tulang dan daging ikan di pasar. Adapun Haryanto, sejak kecil dididik untuk bekerja keras, mulai dari menggembala sapi milik tetangga, berjualan es atau sebagai tukang ngarit demi menambah penghasilan bagi kelangsungan hidup keluarganya. Maklum, keluarganya adalah keluarga besar. Haryanto adalah anak keenam dari sebelas bersaudara.
Meski ulet, ternyata Haryanto cukup bandel. Buktinya, ia tidak menyelesaikan sekolahnya di bangku Sekolah Teknik Menengah (STM) lantaran merasa tidak cocok. Ia lalu kabur dari rumah dan hijrah ke Tangerang. "Saya akan mengubah nasib," begitu tekadnya waktu itu.
Berbekal tekad dan semangat yang kuat, di Tangerang Haryanto lalu mendaftar sebagai anggota TNI. Sejak kecil Haryanto memang bercita-cita bisa berseragam loreng sambil memanggul senjata. Cita-citanya itu akhirnya kesampaian juga. Tahun 1979 ia mulai bekerja di kesatuan angkatan udara Kostrad di Tangerang. "Saya dididik jadi pengemudi, tugas saya mengangkut alat-alat berat, meriam, beras untuk konsumsi dan perminyakan," kenang Haryanto. Penghasilan yang ia kantongi waktu itu sekitar Rp 18.000 per bulan.
Bekerja sambilan jadi sopir angkot
Karena sudah bekerja dan mengantongi gaji, pada 1982 Haryanto memberanikan diri untuk menikah. Tapi, gaji belasan ribu yang diterimanya tiap bulan itu ternyata tak cukup untuk menambal semua kebutuhan hidupnya. Bahkan, rumah sewa berukuran 3 x 4 meter yang ia huni bersama dengan istrinya tak mampu ia bayar. "Untuk membayar sewa rumah saja saya utang," kenangnya. Kepepet dengan kondisi keuangan yang minim inilah yang justru mempertebal semangat Haryanto untuk mulai mencari usaha sampingan. Pada 1984, dengan modal uang tabungan kurang dari Rp 1 juta, Haryanto nekat membeli satu unit mobil angkutan kota (angkot) buatan Daihatsu.
Ia pun lalu menjadi sopir bagi kendaraan pribadinya yang berpelat kuning. Waktu itu rute yang ia tempuh Pasar Anyar-Serpong. "Dulu masih kebun karet, jalannya juga enggak sebagus sekarang," paparnya. Di sela-sela waktu bekerja sebagai sopir kendaraan militer di kesatuannya, Haryanto pun meluangkan waktunya untuk menyopiri angkotnya. Saban hari ia menyopir angkotnya pada pukul 15.00-16.00, kemudian bekerja di Kostrad hingga pukul 19.00. Selepas pukul 22.00, ia mulai mengemudikan angkotnya lagi hingga dini hari. Suka tidak suka, Haryanto harus mengurangi waktu tidurnya demi menafkahi istri dan ketiga anaknya.
Berkat rajin menyopiri angkotnya, tahun-tahun berikutnya Haryanto terus membeli angkot dari uang yang ia sisihkan. Modal untuk membeli angkot juga didapatnya dari hasil kerja sambilannya yang lain, sebagai perwakilan bus PO Sumber Urip yang ia tekuni sejak 1990-2000. Angkotnya terus beranak-pinak hingga puluhan dan terus bertambah menembus angka 100 unit. "Insya Allah sekarang saya telah memiliki jalur angkot hampir seluruh Tangerang," ungkapnya penuh syukur. Saat ini sekitar 150 angkot ada dalam daftar asetnya. Dari usaha angkotnya saja, jutaan rupiah berhasil ia kantongi setiap hari.
Tapi, Haryanto bukan orang yang gampang berpuas diri. Tahun 1990 ia membuka satu gerai showroom mobil di Tangerang yang khusus menjual angkot dari beragam karoseri. Gerai ini tak membutuhkan modal yang banyak, Haryanto hanya menyiapkan lahan bagi mereka yang ingin menjual angkotnya. "Modalnya hanya kepercayaan," tukas Haryanto. Showroom ini pun cukup laris, setiap bulan sekitar 20-30 unit mobil berhasil ia jual.
Pensiun dari kopral, gajinya jenderal
Karena putaran roda bisnisnya semakin kencang, Haryanto pun akhirnya memutuskan untuk keluar dari kesatuannya di militer. Kendati usianya baru 43 tahun, tahun 2002 lalu, ia melayangkan surat pengunduran diri. "Saya enggak dapat pesangon, tapi dapat pensiun Rp 800.000 per bulan," ujarnya.
Sejak pensiun itulah Haryanto justru sibuk dengan mainan barunya, yaitu PO Haryanto yang dirintisnya pada tahun yang sama. Waktu itu Haryanto mendapat kucuran kredit dari Bank BRI sekitar Rp 3 miliar. Uang itu ia gunakan untuk membeli enam unit bus senilai masing-masing Rp 800 juta. "Pinjaman itu saya pakai untuk uang muka beli bus," katanya.
Semula Haryanto mengoperasikan busnya untuk rute Cikarang-Cimone kelas non-AC alias ekonomi. Sayangnya, bus jurusan ini sepi penumpang. Maka, ia mengalihkan ke bus eksekutif yang ber-AC dan membuat rute baru yang tujuannya tak jauh dari kampung halamannya, yaitu Jakarta-Kudus, Jakarta-Jepara, dan Jakarta-Pati. Demi menjaga kualitas, Haryanto mendidik sopir-sopirnya agar tidak ugal-ugalan dan diprotes penumpang. Walau sudah menjadi juragan, Haryanto pun tak segan-segan setiap hari nongkrong di terminal, memeriksa sendiri kondisi bus-busnya sambil mendengarkan keluhan penumpang.
Di garasinya kini sekitar 20 unit bus berjajar rapi. Adapun enam bus kelas ekonomi yang pertama ia beli dulu, dikandangkan terpisah dan tidak lagi ia lajukan di jalan raya. "Bus ekonomi nanti akan saya lepas Rp 200 juta per unitnya," kata Haryanto. Salah satu kunci suksesnya sebagai pemain baru di bisnis bus antarkota antarprovinsi ini adalah karena ia berani mematok tarif 20% lebih murah ketimbang perusahaan otobus lain.
Tak heran, banyak penumpang yang kini melirik armada angkutannya sehingga pundi-pundi uang Haryanto lancar terisi. Dari putaran roda bisnis di bisnis beragam angkutan penumpang ini, Haryanto kini menangguk pendapatan yang lumayan. Karyawannya pun kini telah mencapai 500 orang. "Saya enggak nyangka sekarang bisa menjadi pengusaha," ungkap Haryanto. Sebagai pengusaha, tentu saja penghasilan pensiunan kopral itu tak kalah dengan para jenderal.
Mengongkosi Sopir ke Tanah Suci
Pergi ke tanah suci adalah impian Haryanto, pemilik PO Haryanto. Itu sebabnya, ia selalu menyisihkan sedikit demi sedikit penghasilannya. Berkat uang hasil tabungannya itulah, pada 1997, akhirnya ia bisa berangkat ke tanah suci bersama orang tua dan istrinya. Sejak kakinya menginjakkan tanah suci itulah ia berjanji pada dirinya untuk menjalankan bisnis ini dengan sungguh-sungguh. "Alhamdulillah saya bisa ke Mekkah juga dari hasil usaha angkot," ujarnya kalem.
Haryanto agaknya sadar betul bahwa usahanya tak akan berhasil tanpa campur tangan Yang di Atas. Itu sebabnya, ia berikrar akan memberangkatkan sopir-sopirnya ke Tanah Suci. Maka dari itu, setiba dari Mekkah, kendati harga dolar sedang mahal-mahalnya, Haryanto memenuhi janjinya pada diri sendiri untuk memberangkatkan karyawannya naik haji. Kesempatan pertama itu ia hadiahkan pada satu orang sopir yang telah setia bekerja padanya. "Dia sopir pertama yang saya berangkatkan ke tanah suci," ujarnya.
Tradisi memberangkatkan karyawannya itu terus ia pelihara hingga sekarang. Bagi karyawan yang taat dan tekun beribadah, Haryanto tak segan-segan membagi tiket untuk beribadah ke Mekkah. Kini setiap tahun sekitar lima karyawan berangkat naik haji atas biaya Haryanto